TIMIKA BUTUH RUANG PUBLIK


Oleh : Fredrik Wakum

Bila sore hari dan langit cerah, cobalah luangkan waktu sejenak untuk jalan-jalan ke Airport. Di sepanjang jalan menuju Airport, anda akan disuguhi berbagai pemandangan dan aktivitas menarik dari masyarakat Timika, mulai dari : jogging/lari sore, jalan-jalan sore, duduk-duduk, belajar motor hingga atraksi jumping dengan motor. Juga terlihat beberapa remaja berkumpul dan saling bercanda. Keadaan seperti tergambar diatas akan lebih semarak lagi jika itu bertepatan dengan Sabtu sore dan Hari Minggu sore dengan suasana cerah.

Makin mendekati airpot. Di pingggir ”telaga” kecil, nampak banyak keluarga bercanda ria dengan anak-anaknya, atau ada juga yang sekedar ngobrol ringan dalam format berpasangan maupun dalam kelompok kecil sambil menikmati sunset yang perlahan-lahan terbenam diarah barat dan sebentar lagi akan berganti malam.

Sementara di Airport sendiri, banyak keluarga yang datang untuk sekedar menikmati suasana lenggang sore hari disana, sambil sesekali mengeluarkan camera pocket atau camera HP untuk mengabadikan moment tersebut. Entah hasil jepretannya akan di afdruk atau akhirnya di delete, tidak masalah, karena merupakan ”hak prerogratif” mereka.

Saya, Anak saya Olivia dan Istri adalah satu keluarga dari sekian ratusan orang yang sering menggunakan “ruang publik tidak resmi” tersebut. Untuk melepaskan stres akibat pekerjaan yang melelahkan sepanjang seminggu atau bahkan mungkin sebulan. Lagi pula kami memilih tempat tersebut karena mudah diakses dan suasananya sangat menunjang karena semua orang terlena dalam pikirannya sendiri – sendiri.

Saya lalu bertanya dalam hati : Apakah Pemimpin daerah ini (baca :Bupati) dan wakil Rakyat didaerah ini (baca : DPRD) tidak melihat hal tersebut ? Mungkin Pemimpin Daerah ini sibuk membangun kota ini dan wakil Rakyat sibuk mengawasi sambil buat perda di gedung ber AC, sampai tidak memikirkan hal tersebut ? Atau mungkin ruang publik merupakan masalah sepele sehingga masuk dalam urutan ke seribu dari program lima tahum pemerintah daerah Mimika ?

Lalu sayapun cepat-cepat menghibur diri sendiri :…” pasti hal-hal sepele begini telah dipikirkan, dirancang dan diprogramkan dengan sangat sempurna oleh ”penguasa” di daerah ini, hanya waktu yang belum tepat untuk mereka mengaplikasikannya……atau mungkin untuk bahan kampenye pada Pilbuk dan pemilu nanti ?? …..” kita semua tidak tahu.

Ruang Publik

Menurut Project for Public Spaces in New York tahun 1984, Ruang Publik didefinisikan sebagai bentuk ruang yang digunakan manusia secara bersama-sama berupa Aluln-alun kota, Gelanggang Olahraga / Kegiatan, Jalan, Pedestrian, Taman-taman, plaza, fasilitas transportasi umum (halte) dan Museum, Perpustakaan, yang dapat diakses tanpa bayar.

Pada umumnya ruang publik adalah ruang terbuka yang mampu menampung kebutuhan akan tempat-tempat pertemuan dan aktivitas bersama di udara terbuka. Ruang ini memungkinkan terjadinya pertemuan antar manusia untuk saling berinteraksi. Karena pada ruang ini seringkali timbul berbagai kegiatan bersama, maka ruang-ruang terbuka ini dikategorikan sebagai ruang umum.

Sedangkan menurut Roger Scurton dalam bukunya Public Space (1984) mengatakan bahwa, setiap ruang publik memiliki makna sebagai berikut: sebuah lokasi yang didesain seminimal apapun, memiliki akses yang besar terhadap lingkungan sekitar, tempat bertemunya manusia/pengguna ruang publik dan perilaku masyarakat pengguna ruang publik satu sama lain mengikuti norma-norma yang berlaku setempat.

Meskipun sebagian ahli mengatakan umumnya ruang publik adalah ruang terbuka, Rustam Hakim (1987) mengatakan bahwa, ruang umum pada dasarnya merupakan suatau wadah yang dapat menampung aktivitas tertentu dari masyarakatnya, baik secara individu maupun secara kelompok, dimana bentuk ruang publik ini sangat tergantung pada pola dan susunan massa bangunan.

Sehingga menurut sifatnya, ruang publik terbagi menjadi 2 jenis, yaitu : (1) Ruang publik tertutup : adalah ruang publik yang terdapat di dalam suatu bangunan, seperti : Perpustakaan, Arena Olah Raga, Balai Kota, Gelanggang Remaja, Museum, Plaza dll. (2) Ruang publik terbuka : yaitu ruang publik yang berada di luar bangunan yang sering juga disebut ruang terbuka (open space). Seperti : Taman, Jalan, Halte

Dari beberapa uraian yang telah dikemukakan diatas, maka dapat disimpulan bahwa yang dimaksud dengan Ruang publik sebuah kota adalah : Ruang publik terbuka (open space) maupun Ruang publik tertutup yang dapat dipergunakan masyarakat secara bersama-sama untuk melaksanakan kegiatan mereka dalam satu Kota atau suatu area tertentu.

Bukan hal Baru

Gagasan ruang publik atau public sphere merupakan gagasan yang baru, filsuf Jerman Jurgen Habermas (1929) dianggap sebagai pencetus gagasan tersebut, sekalipun sebagian orang menganggap benih-benih pemikiran ruang publik sudah dikemukakan oleh sosilogis dan ekonomis Jerman Maximilian Carl Emil Weber (1864-1920). Ia Jurgen Habermas mengenalkan gagasan ruang publik melalui bukunya Strukturwandel der Öffentlichkeit; Untersuchungen zu einer Kategorie der Bürgerlichen Gesellschaft. Edisi bahasa Inggris buku ini, The Structural Transformation of the Public Sphere: an Inquiry into a Category of Bourgeois Society, diterbitkan pada 1989.

Melalui buku tersebut dan buku Civil Society and the Political Public Sphere Jurger Habermas memaparkan bagaimana sejarah dan sosiologis ruang public. Menurutnya, ruang publik di Inggris dan Prancis sudah tercipta sejak abad ke-18. Pada zaman tersebut di Inggris orang biasa berkumpul untuk berdiskusi secara tidak formal di warung-warung kopi (coffee houses). Mereka di sana biasa mendiskusikan persoalan-persoalan karya seni dan tradisi baca tulis. Dan sering pula terjadi diskusi-diskusi ini melebar ke perdebatan ekonomi dan politik. Sementara di Prancis, contoh yang diberikan Jurgen Habermas, perdebatan-perdebatan semacam ini biasa terjadi di salon-salon. Warga-warga Prancis biasa mendiskusikan buku-buku, karya-karya seni baik berupa lukisan atau musik, di sana.

Selanjutnya Jurgen Habermas menjelaskan bahwa ruang publik merupakan media untuk mengomunikasikan informasi dan juga pandangan. Sebagaimana yang tergambarkan di Inggris dan Prancis, masyarakat bertemu, ngobrol, berdiskusi tentang buku baru yang terbit atau karya seni yang baru diciptakan. Dalam keadaan masyarakat bertemu dan berdebat akan sesuatu secara kritis maka akan terbentuk apa yang disebut dengan masyarakat madani. Secara sederhana masyarakat madani bisa dipahami sebagai masyarakat yang berbagi minat, tujuan, dan nilai tanpa paksaan—yang dalam teori dipertentangkan dengan konsep negara yang bersifat memaksa.

Pada perkembangan selanjutnya ruang publik juga menyangkut ruang yang tidak saja bersifat fisik, seperti lapangan, warung-warung kopi dan salon, tetapi juga ruang di mana proses komunikasi bisa berlangsung. Misal dari ruang publik yang tidak bersifat fisik ini adalah media massa. Di media massa itu masyarakat membicarakan kasus-kasus yang terjadi di lingkungannya—sebagai contoh penguasa Serang yang telah berselingkuh dengan pemilik modal dengan membongkar bangunan Makodim Serang. Penguasa yang tidak menerima dikritik dan media massa yang menolak memuat sebuah artikel karena takut kepada penguasa juga sebagai tanda bahwa sebuah ruang publik belum tercipta.

Ruang Publik Timika.

Kembali kepada ”fenomena” yang dapat diamati setiap sore di sepanjang jalan menuju ke Ariport Timika. Dimana fenomena tersebut telah memberikan suatu pesan sangat jelas pada kita sekalian bahwa : Timika Membutuhkan Ruang Publik untuk menyalurkan aktivitas warga masyarakat Timika.

Kebutuhan ruang publik di Timika merupakan suatu keharusan yang perlu direalisasi oleh stakeholder terkait daerah ini seiring dengan perkembangan kota Timika, sehingga perlu menyiapkan lahan yang dibutuhkan untuk kepentingan ruang tersebut.

Tidak perlu kita berdalih bahwa ”usia” Mimika yang masih relatif belia, sehingga kebutuhan-kebutuhan seperti Ruang Publik harus mengalah untuk menempati urutan kesekian dari daftar kebutuhan kebutuhan pokok kabupaten ini.

Kota Timika akan keliahatan ”lucu” manakala berambisi menjadi sebuah Ibukota Propinsi Papua Tengah – yang saat sedang diperjuangkan – tapi tidak mempunyai ruang publik seperti alun-alun.

Mungkin alun-alun di Distrik Kuala Kencana dapat dijadikan sebagai contoh bagi Alun-alun kabupaten Timika. Dengan demikian, Dinas Tata Kota, PEMDA atau DPRD tidak perlu repot-repot study banding ke luar daerah untuk ”hanya” mempelajari cara mendesain dan membuat sebuah pusat aktivitas, cukup ”melihat” apa yang ada disekitar kita dan mengaplikasikannya untuk menjawab kebutuhan masyarakat Timika.

Ruang Publik bukan hanya terbatas pada Alun-alun saja, tapi masih banyak lagi seperti : Balai Kota, Gelanggang Olah Raga, Perpustakaan yang dapat diperuntukkan bangi masyarakat.

Sekarang permasalahannya adalah, apakah Pemerintah Daerah mempunyai kemauan untuk merealisasikan hal tersebut ? Atau ide-ide seperti ini hanya disimpan kedalam Flash Disk untuk bahan – bahan presentasi belaka ?

Tinggalkan komentar